Wacana revisi UU TNI menuai kritik dari kalangan akademisi. Koalisi dosen menilai perubahan ini berpotensi melanggar hak asasi manusia dan kebebasan sipil.Revisi tersebut di anggap dapat memperluas peran militer dalam kehidupan sipil. Jika tidak di kontrol dengan ketat, hal ini berisiko melemahkan prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Penguatan kewenangan TNI tanpa pengawasan sipil dapat menciptakan celah bagi tindakan represif.
Sejumlah akademisi menyoroti potensi penyalahgunaan kekuasaan yang dapat mengancam hak masyarakat, termasuk kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kehadiran militer dalam ranah sipil juga di khawatirkan menghambat kebebasan akademik, khususnya dalam penelitian kritis dan diskusi terbuka.
Selain itu, koalisi dosen menekankan bahwa revisi ini berpotensi bertentangan dengan reformasi sektor keamanan. Sejak era reformasi, Indonesia telah berupaya membatasi peran militer di luar tugas pertahanan negara. Pelebaran kewenangan TNI dalam aspek sipil dapat mengembalikan dominasi militer dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai respons, koalisi dosen menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara peran militer dan perlindungan hak-hak sipil. Revisi UU TNI seharusnya mempertimbangkan prinsip demokrasi serta hak asasi manusia agar tidak mengancam kebebasan individu dan supremasi hukum.
Risiko Pelanggaran HAM dalam Revisi UU TNI
Revisi UU TNI berpotensi memperluas keterlibatan militer dalam urusan sipil. Jika di terapkan tanpa pengawasan ketat, hal ini bisa mengancam hak asasi manusia dan kebebasan sipil. Oleh karena itu, banyak pihak menilai revisi ini perlu dikaji lebih dalam agar tidak menimbulkan dampak negatif.
Salah satu kekhawatiran utama adalah meningkatnya tindakan represif terhadap masyarakat. Dengan kewenangan militer yang lebih luas, kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul secara damai dapat terancam. Akibatnya, ruang demokrasi bisa semakin menyempit, yang pada akhirnya menghambat partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi.
Selain itu, revisi ini dapat membuka peluang kriminalisasi terhadap aktivis, akademisi, dan jurnalis. Jika militer diberi peran lebih besar dalam keamanan dalam negeri, maka kritik terhadap pemerintah bisa dianggap sebagai ancaman stabilitas. Akibatnya, masyarakat dapat merasa takut untuk menyampaikan pendapat, yang pada gilirannya menghambat diskusi terbuka tentang kebijakan publik.
Tidak hanya itu, pendekatan militer dalam menangani konflik sosial berisiko meningkatkan pelanggaran HAM. Tanpa mekanisme kontrol yang jelas, tindakan seperti intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, atau kekerasan berlebihan bisa terjadi. Lebih lanjut, sejarah menunjukkan bahwa tanpa pengawasan sipil yang kuat, kehadiran militer dalam urusan domestik sering kali berujung pada penyalahgunaan kekuasaan.
Oleh sebab itu, akademisi menegaskan bahwa revisi UU TNI harus mempertimbangkan prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Di satu sisi, keamanan negara memang penting, tetapi di sisi lain, kebebasan individu dan hak-hak dasar masyarakat tidak boleh di korbankan. Sebagai negara hukum, Indonesia harus memastikan bahwa peran militer tetap dalam koridor yang sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Dengan demikian, keseimbangan antara keamanan nasional dan perlindungan hak-hak sipil dapat tetap terjaga.
Baca Juga : Serikat Pekerja UGM: Penundaan Tukin Dosen Bisa Naikkan UKT
Dampak terhadap Kebebasan Akademik
Revisi UU TNI tidak hanya berisiko melanggar hak asasi manusia, tetapi juga dapat mengancam kebebasan akademik. Jika militer memiliki peran lebih besar dalam ranah sipil, independensi dunia pendidikan bisa terpengaruh. Oleh karena itu, banyak akademisi khawatir revisi ini akan membatasi ruang intelektual di perguruan tinggi.
Salah satu dampak yang di khawatirkan adalah meningkatnya sensor terhadap riset dan kajian kritis. Jika kebijakan ini di terapkan, penelitian yang membahas isu-isu sensitif, seperti hak asasi manusia dan reformasi militer, bisa menghadapi tekanan atau pembatasan. Akibatnya, akademisi mungkin merasa enggan untuk mengangkat topik-topik yang di anggap kontroversial.
Selain itu, kebebasan berdiskusi di lingkungan kampus juga bisa terancam. Dengan keterlibatan militer yang lebih luas, ada potensi pembungkaman terhadap mahasiswa dan dosen yang menyampaikan kritik terhadap kebijakan negara. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi kualitas pendidikan tinggi dan menghambat perkembangan pemikiran kritis di masyarakat.
Tidak hanya itu, revisi UU TNI juga bisa membuka peluang bagi intervensi militer dalam sistem pendidikan. Jika kontrol sipil terhadap militer melemah, institusi akademik bisa dipaksa untuk menyesuaikan kurikulum agar lebih sejalan dengan kepentingan tertentu. Akibatnya, kebebasan akademik yang seharusnya menjadi pilar demokrasi bisa tergerus secara perlahan.
Oleh sebab itu, koalisi dosen menegaskan bahwa kebebasan akademik harus tetap dijaga. Pendidikan yang independen dan bebas dari tekanan politik maupun militer sangat penting bagi kemajuan bangsa. Dengan demikian, revisi UU TNI harus mempertimbangkan dampaknya terhadap dunia akademik agar tidak menghambat kebebasan berpikir, berekspresi, dan berinovasi.
Baca Juga : Asosiasi Minta Tukin Dosen ASN Cair Bersamaan dengan THR